Sejarah nikah mut ah – Nikah mut’ah, pernikahan dengan jangka waktu tertentu, merupakan topik yang seringkali memicu perdebatan dalam Islam. Praktik ini pernah diizinkan pada masa awal Islam, namun kemudian diharamkan oleh sebagian besar ulama. Mengapa terjadi perubahan pandangan? Bagaimana sejarah nikah mut’ah dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat?
Artikel ini akan membahas sejarah nikah mut’ah, mulai dari asal-usulnya, argumentasi para ulama yang membolehkan dan mengharamkannya, hingga dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Kita juga akan membahas status hukum nikah mut’ah di Indonesia dan alternatif pernikahan yang sesuai dengan hukum Islam.
Pengertian Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah, atau yang lebih dikenal sebagai pernikahan sementara, adalah sebuah bentuk pernikahan dalam Islam yang melibatkan perjanjian jangka waktu tertentu. Dalam pernikahan ini, kedua belah pihak sepakat untuk menikah untuk periode waktu yang telah ditentukan sebelumnya, dan setelah jangka waktu tersebut berakhir, pernikahan otomatis berakhir tanpa perlu proses perceraian.
Definisi Nikah Mut’ah dalam Islam
Definisi nikah mut’ah dalam Islam dapat ditemukan dalam berbagai sumber hukum, seperti Al-Quran dan hadits. Dalam Al-Quran, tidak ada ayat yang secara eksplisit membahas tentang nikah mut’ah. Namun, beberapa hadits Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang pernikahan sementara ini.
- Hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah mengizinkan pernikahan sementara, tetapi kemudian melarangnya.
- Hadits riwayat Imam Tirmidzi menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melarang pernikahan sementara dengan mengatakan, “Siapa saja yang melakukan pernikahan sementara, maka dia telah melakukan zinah.”
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, para ulama Islam memiliki perbedaan pendapat mengenai hukum nikah mut’ah. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah hukumnya haram, sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa hukumnya makruh atau dibolehkan dengan syarat tertentu.
Perbedaan Nikah Mut’ah dengan Nikah Siri
Nikah mut’ah dan nikah siri sama-sama merupakan bentuk pernikahan yang tidak tercatat secara resmi di negara. Namun, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya:
Aspek | Nikah Mut’ah | Nikah Siri |
---|---|---|
Jangka Waktu | Berjangka waktu, ditentukan sejak awal pernikahan. | Seumur hidup, kecuali terjadi perceraian. |
Status Hukum | Diharamkan dalam Islam oleh mayoritas ulama. | Diperbolehkan dalam Islam, namun tidak tercatat di negara. |
Kewajiban | Tidak ada kewajiban nafkah dan waris. | Terdapat kewajiban nafkah dan waris. |
Perjanjian | Terdapat perjanjian tertulis atau lisan mengenai jangka waktu pernikahan. | Tidak ada perjanjian tertulis, biasanya hanya lisan. |
Sejarah Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah, atau yang lebih dikenal dengan pernikahan sementara, merupakan sebuah praktik yang pernah ada dalam Islam. Meskipun kini banyak yang menganggapnya sebagai bentuk pernikahan yang haram, sejarahnya sendiri cukup menarik untuk dikaji. Praktik ini muncul di masa awal Islam, dan hingga saat ini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan umat Islam.
Munculnya Nikah Mut’ah dalam Islam
Nikah mut’ah muncul dalam konteks sejarah Islam yang penuh dinamika. Pada masa awal Islam, kaum muslimin tengah berjuang untuk membangun kekuatan dan mempertahankan diri dari serangan musuh. Dalam kondisi sulit seperti itu, banyak kaum muslimin yang berkeluarga terpaksa meninggalkan istri dan anak-anak mereka untuk berjihad. Nikah mut’ah muncul sebagai solusi untuk memenuhi kebutuhan seksual para prajurit yang jauh dari keluarga, sekaligus memberikan kepastian hukum dan moral bagi pasangan yang terlibat.
Di masa Nabi Muhammad SAW, nikah mut’ah diperbolehkan. Hal ini tercatat dalam beberapa hadits shahih, seperti hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW secara langsung membolehkan nikah mut’ah dan menetapkan batasan-batasannya.
Argumentasi Para Ulama
Perdebatan tentang hukum nikah mut’ah terus berlanjut hingga saat ini. Ada dua kubu utama dalam perdebatan ini, yaitu:
- Ulama yang membolehkan nikah mut’ah
- Ulama yang mengharamkan nikah mut’ah
Ulama yang Membolehkan Nikah Mut’ah
Ulama yang membolehkan nikah mut’ah berpendapat bahwa nikah mut’ah merupakan bentuk pernikahan yang sah dan diperbolehkan dalam Islam, berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Mereka berpendapat bahwa nikah mut’ah dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, seperti:
- Memenuhi kebutuhan seksual para prajurit yang jauh dari keluarga.
- Memberikan kepastian hukum dan moral bagi pasangan yang terlibat.
- Membantu para janda dan perempuan yang ditinggal mati suaminya.
Mereka juga berpendapat bahwa pelarangan nikah mut’ah oleh sebagian ulama didasarkan pada penafsiran yang sempit terhadap dalil-dalil yang ada.
Ulama yang Mengharamkan Nikah Mut’ah
Ulama yang mengharamkan nikah mut’ah berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak dibenarkan dalam Islam, berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadits. Mereka berpendapat bahwa nikah mut’ah dapat menimbulkan banyak masalah, seperti:
- Menimbulkan ketidakpastian hukum dan moral.
- Membuka peluang untuk eksploitasi seksual.
- Menimbulkan konflik sosial dan keluarga.
Mereka juga berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW telah melarang nikah mut’ah pada akhir masa hidupnya.
Contoh Kasus Nikah Mut’ah di Masa Lampau
Salah satu contoh kasus nikah mut’ah di masa lampau adalah kisah pernikahan sementara antara seorang sahabat Nabi Muhammad SAW bernama Abu Ayyub Al-Anshari dengan seorang wanita dari suku Quraisy. Pernikahan ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seksual Abu Ayyub Al-Anshari yang jauh dari keluarga. Setelah masa pernikahan sementara berakhir, Abu Ayyub Al-Anshari kemudian menikahi wanita tersebut secara permanen.
Contoh lainnya adalah kisah pernikahan sementara antara seorang sahabat Nabi Muhammad SAW bernama Salman Al-Farisi dengan seorang wanita dari suku Khazraj. Pernikahan ini dilakukan untuk membantu Salman Al-Farisi yang sedang dalam masa sulit dan membutuhkan dukungan moral. Setelah masa pernikahan sementara berakhir, Salman Al-Farisi kemudian menikahi wanita tersebut secara permanen.
Pandangan Ulama tentang Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah, yang juga dikenal sebagai pernikahan sementara, merupakan topik yang telah menjadi subjek perdebatan sengit di kalangan ulama selama berabad-abad. Pandangan mereka tentang hukum dan keabsahan nikah mut’ah bervariasi, dengan beberapa mendukung praktik ini sementara yang lain dengan tegas menentangnya. Untuk memahami kompleksitas isu ini, mari kita telusuri beragam pendapat para ulama mengenai nikah mut’ah.
Perbedaan Pendapat Ulama
Pendapat ulama mengenai hukum nikah mut’ah dapat dikategorikan menjadi dua kelompok utama: yang mengharamkan dan yang memperbolehkan. Berikut tabel yang merangkum perbedaan pendapat mereka:
Pendapat | Ulama yang Menyatakan Pendapat | Alasan |
---|---|---|
Haram | Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Hanbali, sebagian besar ulama kontemporer | Didasarkan pada dalil Al-Quran dan Hadits yang menunjukkan bahwa pernikahan harus bersifat permanen. |
Perbolehkan | Imam Ja’far al-Sadiq, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Syiah | Didasarkan pada dalil Al-Quran dan Hadits yang menunjukkan bahwa nikah mut’ah dipraktikkan pada masa Rasulullah SAW. |
Argumentasi Ulama yang Mendukung Nikah Mut’ah
Ulama yang mendukung nikah mut’ah berpendapat bahwa praktik ini memiliki dasar yang kuat dalam Al-Quran dan Hadits. Mereka mengutip beberapa ayat Al-Quran yang menurut mereka menunjukkan permisivitas nikah mut’ah, seperti:
- Surat An-Nisa ayat 24: “Dan (diharamkan atas kamu) menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh bapakmu, kecuali apa yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Terjemahan: Departemen Agama RI)
- Surat Al-Baqarah ayat 232: “Dan jika kamu ingin menceraikan istri-istrimu sebelum mereka menyelesaikan masa iddahnya, maka hendaklah kamu membayar mahar kepada mereka dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan siapa saja yang mereka kehendaki.” (Terjemahan: Departemen Agama RI)
Mereka juga mengutip beberapa Hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya mempraktikkan nikah mut’ah. Salah satu Hadits yang sering dikutip adalah:
“Rasulullah SAW pernah bersabda: ‘Nikah mut’ah itu halal selama tidak ada paksaan dan tidak ada batasan waktu.'” (Hadits Riwayat Abu Dawud)
Ulama yang mendukung nikah mut’ah berpendapat bahwa praktik ini memiliki beberapa manfaat, antara lain:
- Membantu memenuhi kebutuhan seksual bagi mereka yang tidak mampu menikah secara permanen.
- Menyediakan solusi bagi mereka yang ingin menjalin hubungan sementara tanpa ikatan permanen.
- Mencegah zina dan perbuatan maksiat lainnya.
Argumentasi Ulama yang Menentang Nikah Mut’ah
Ulama yang menentang nikah mut’ah berpendapat bahwa praktik ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam Al-Quran dan Hadits. Mereka mengutip beberapa ayat Al-Quran yang menurut mereka menunjukkan bahwa pernikahan harus bersifat permanen, seperti:
- Surat An-Nisa ayat 25: “Dan jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum mereka menyelesaikan masa iddahnya, maka hendaklah kamu membayar mahar kepada mereka dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk menikah dengan siapa saja yang mereka kehendaki.” (Terjemahan: Departemen Agama RI)
- Surat Ar-Rum ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram dan hidup rukun dengannya.” (Terjemahan: Departemen Agama RI)
Mereka juga mengutip beberapa Hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah. Salah satu Hadits yang sering dikutip adalah:
“Rasulullah SAW pernah bersabda: ‘Nikah mut’ah telah diharamkan.'” (Hadits Riwayat Muslim)
Ulama yang menentang nikah mut’ah berpendapat bahwa praktik ini memiliki beberapa dampak negatif, antara lain:
- Mempermudah terjadinya perselingkuhan dan perzinaan.
- Menimbulkan ketidakpastian hukum dan sosial.
- Mempermudah eksploitasi dan penindasan terhadap perempuan.
Dalil Hukum Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah, juga dikenal sebagai pernikahan sementara, adalah praktik yang telah menjadi subjek perdebatan dan kontroversi di dunia Islam. Dalam konteks ini, penting untuk memahami dasar hukum dari nikah mut’ah, yang meliputi dalil-dalil yang mendukung dan menentang praktik ini. Pembahasan ini akan menganalisis argumen-argumen yang dikemukakan berdasarkan Al-Quran dan Hadits, serta tafsir yang berbeda terkait dengan nikah mut’ah.
Dalil yang Mendukung Nikah Mut’ah
Pendukung nikah mut’ah mengutip sejumlah dalil dari Al-Quran dan Hadits untuk memperkuat argumen mereka. Salah satu dalil yang sering disebut adalah Hadits Riwayat Imam Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, yang berbunyi:
“Rasulullah SAW pernah mengizinkan nikah mut’ah, kemudian beliau melarangnya.”
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW awalnya mengizinkan nikah mut’ah, namun kemudian melarangnya. Pendukung nikah mut’ah berpendapat bahwa pelarangan tersebut hanya berlaku pada masa tertentu dan tidak berlaku selamanya.
Selain Hadits, pendukung nikah mut’ah juga mengutip ayat Al-Quran surat An-Nisa ayat 24 yang berbunyi:
“Dan kawinilah perempuan-perempuan yang tidak bersuami di antara kamu dan orang-orang yang saleh di antara budak-budak laki-laki kamu. Jika mereka miskin, Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”
Mereka berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT mengizinkan pernikahan dengan wanita yang tidak bersuami, termasuk pernikahan sementara seperti nikah mut’ah.
Dalil yang Menentang Nikah Mut’ah
Di sisi lain, penentang nikah mut’ah mengutip sejumlah dalil yang mereka anggap sebagai bukti pelarangan nikah mut’ah. Salah satu dalil yang paling sering dikemukakan adalah Hadits Riwayat Imam Ahmad dan At-Tirmidzi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang berbunyi:
“Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan jual beli dengan emas dan perak.”
Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah. Penentang nikah mut’ah berpendapat bahwa pelarangan ini bersifat universal dan berlaku selamanya.
Selain Hadits, penentang nikah mut’ah juga mengutip ayat Al-Quran surat An-Nisa ayat 24 yang berbunyi:
“Dan kawinilah perempuan-perempuan yang tidak bersuami di antara kamu dan orang-orang yang saleh di antara budak-budak laki-laki kamu. Jika mereka miskin, Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.”
Mereka berpendapat bahwa ayat ini tidak dapat ditafsirkan sebagai izin untuk nikah mut’ah. Mereka berpendapat bahwa ayat ini hanya mengizinkan pernikahan yang sah dan permanen.
Tafsir Berbeda tentang Nikah Mut’ah
Tafsir yang berbeda mengenai nikah mut’ah telah muncul di kalangan ulama. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan, antara lain:
- Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah mut’ah diharamkan secara mutlak dan tidak diperbolehkan dalam kondisi apapun.
- Pendapat kedua menyatakan bahwa nikah mut’ah diperbolehkan pada masa Rasulullah SAW, tetapi diharamkan setelah beliau wafat.
- Pendapat ketiga menyatakan bahwa nikah mut’ah diperbolehkan dalam kondisi tertentu, seperti dalam keadaan darurat atau perang.
Perbedaan tafsir ini menunjukkan bahwa tidak ada kesepakatan yang bulat mengenai hukum nikah mut’ah.
Dampak Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah, yang juga dikenal sebagai pernikahan sementara, merupakan praktik yang telah ada selama berabad-abad. Meskipun diharamkan oleh sebagian besar ulama Islam, masih ada beberapa kelompok yang mempraktikkannya. Penting untuk memahami dampak positif dan negatif dari nikah mut’ah, baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan.
Dampak Positif Nikah Mut’ah
Meskipun kontroversial, beberapa pihak berpendapat bahwa nikah mut’ah memiliki dampak positif.
- Memenuhi Kebutuhan Seksual: Nikah mut’ah dapat memberikan solusi bagi individu yang ingin memenuhi kebutuhan seksualnya secara halal tanpa harus terikat dalam pernikahan permanen. Ini dapat menjadi alternatif bagi mereka yang belum siap untuk menikah atau yang tidak dapat menemukan pasangan yang cocok untuk pernikahan permanen.
- Kemudahan dan Fleksibilitas: Proses pernikahan mut’ah relatif mudah dan fleksibel. Kedua belah pihak dapat menentukan durasi pernikahan sesuai kesepakatan. Ini dapat bermanfaat bagi individu yang menginginkan hubungan jangka pendek atau yang memiliki kondisi khusus.
- Peluang Pernikahan Kembali: Setelah masa pernikahan mut’ah berakhir, kedua belah pihak bebas untuk menikah lagi dengan orang lain. Ini dapat memberikan kesempatan bagi individu untuk mencari pasangan yang lebih cocok di masa depan.
Dampak Negatif Nikah Mut’ah
Di sisi lain, nikah mut’ah juga memiliki dampak negatif yang signifikan.
- Eksploitasi Perempuan: Nikah mut’ah rentan terhadap eksploitasi, terutama bagi perempuan. Pria dapat memanfaatkan sistem ini untuk mendapatkan akses seksual dengan perempuan tanpa komitmen jangka panjang. Perempuan mungkin merasa tertekan untuk menerima pernikahan mut’ah karena alasan ekonomi atau sosial.
- Ketidakstabilan Emosional: Hubungan jangka pendek yang bersifat sementara dapat menimbulkan ketidakstabilan emosional bagi kedua belah pihak. Kehilangan pasangan setelah jangka waktu tertentu dapat menimbulkan rasa kehilangan dan kesedihan.
- Penurunan Moral dan Sosial: Praktik nikah mut’ah dapat merusak nilai-nilai moral dan sosial dalam masyarakat. Pernikahan dianggap sebagai ikatan suci yang permanen, dan pernikahan sementara dapat melemahkan nilai-nilai tersebut.
- Masalah Perwalian Anak: Jika terjadi kehamilan selama pernikahan mut’ah, status anak dapat menjadi rumit. Perwalian dan hak asuh anak dapat menjadi masalah yang sulit diselesaikan.
Contoh Kasus Dampak Negatif Nikah Mut’ah
Salah satu contoh kasus yang menunjukkan dampak negatif nikah mut’ah adalah kasus seorang perempuan yang ditipu oleh pria yang berjanji untuk menikahinya secara permanen, tetapi kemudian ternyata hanya menginginkan pernikahan mut’ah. Perempuan tersebut merasa tertipu dan mengalami trauma emosional.
Kasus lain adalah kasus seorang perempuan yang melahirkan anak dari pernikahan mut’ah. Setelah pernikahan berakhir, perempuan tersebut kesulitan mendapatkan hak asuh anak dan menghadapi kesulitan ekonomi.
Perbedaan Nikah Mut’ah dengan Nikah Siri: Sejarah Nikah Mut Ah
Nikah mut’ah dan nikah siri merupakan dua jenis pernikahan yang berbeda dalam Islam. Keduanya memiliki perbedaan yang signifikan dalam hukum, prosedur, dan dampaknya terhadap status hukum pernikahan. Artikel ini akan mengulas perbedaan mendasar antara nikah mut’ah dan nikah siri.
Perbedaan Nikah Mut’ah dan Nikah Siri
Perbedaan utama antara nikah mut’ah dan nikah siri terletak pada durasi pernikahan. Nikah mut’ah adalah pernikahan sementara yang ditentukan jangka waktunya sejak awal, sedangkan nikah siri adalah pernikahan tetap yang tidak dibatasi waktu.
Aspek | Nikah Mut’ah | Nikah Siri |
---|---|---|
Hukum | Diharamkan dalam Islam | Diperbolehkan dalam Islam jika memenuhi syarat |
Prosedur | Perjanjian pernikahan dengan jangka waktu tertentu | Perjanjian pernikahan tanpa jangka waktu tertentu |
Dampak | Tidak sah secara hukum, tidak memiliki status pernikahan yang diakui | Sah secara hukum, memiliki status pernikahan yang diakui |
Status Hukum Pernikahan | Tidak diakui, tidak memiliki hak dan kewajiban pernikahan | Diakui, memiliki hak dan kewajiban pernikahan |
Hukum Nikah Mut’ah dan Nikah Siri
Nikah mut’ah dilarang dalam Islam dan dianggap sebagai bentuk pernikahan yang tidak sah. Sebaliknya, nikah siri diperbolehkan dalam Islam jika memenuhi syarat sah pernikahan. Syarat-syarat sah pernikahan siri sama dengan syarat-syarat pernikahan biasa, yaitu adanya wali, dua saksi, dan ijab kabul yang sah.
Prosedur Nikah Mut’ah dan Nikah Siri
Prosedur nikah mut’ah melibatkan perjanjian pernikahan dengan jangka waktu tertentu. Kedua belah pihak sepakat untuk menikah selama periode tertentu, dan setelah jangka waktu tersebut berakhir, pernikahan otomatis berakhir. Sedangkan, prosedur nikah siri tidak melibatkan perjanjian jangka waktu. Pernikahan siri berlangsung seperti pernikahan biasa, dengan perbedaan bahwa pernikahan ini tidak didaftarkan secara resmi di Kantor Urusan Agama.
Dampak Nikah Mut’ah dan Nikah Siri
Nikah mut’ah tidak diakui secara hukum dan tidak memiliki status pernikahan yang diakui. Oleh karena itu, pernikahan ini tidak memberikan hak dan kewajiban pernikahan kepada pasangan. Sebaliknya, nikah siri diakui secara hukum dan memiliki status pernikahan yang diakui. Pasangan dalam pernikahan siri memiliki hak dan kewajiban pernikahan, seperti hak waris, hak asuh anak, dan kewajiban nafkah.
Status Hukum Pernikahan Nikah Mut’ah dan Nikah Siri
Nikah mut’ah tidak memiliki status hukum pernikahan yang diakui. Oleh karena itu, pasangan dalam pernikahan mut’ah tidak memiliki hak dan kewajiban pernikahan. Sebaliknya, nikah siri diakui secara hukum sebagai pernikahan yang sah. Pasangan dalam pernikahan siri memiliki hak dan kewajiban pernikahan yang sama dengan pasangan dalam pernikahan biasa.
Status Hukum Nikah Mut’ah di Indonesia
Nikah mut’ah, atau pernikahan sementara, merupakan praktik yang diharamkan dalam Islam menurut mazhab Syafi’i, yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Di Indonesia, pernikahan mut’ah dianggap bertentangan dengan hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang berlaku.
Dasar Hukum Pelarangan Nikah Mut’ah di Indonesia
Larangan nikah mut’ah di Indonesia didasarkan pada beberapa hal, yaitu:
- Al-Qur’an dan Hadits: Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW secara tegas melarang pernikahan sementara.
- Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI): MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa nikah mut’ah adalah haram dan tidak sah di Indonesia.
- Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974: UU Perkawinan hanya mengatur tentang pernikahan yang bersifat permanen dan tidak mengakui pernikahan sementara.
Konsekuensi Hukum bagi Pelaku Nikah Mut’ah di Indonesia
Bagi pelaku nikah mut’ah di Indonesia, terdapat beberapa konsekuensi hukum yang bisa dihadapi, antara lain:
- Tidak sah secara hukum: Nikah mut’ah tidak diakui secara hukum di Indonesia, sehingga tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
- Sanksi sosial: Pelaku nikah mut’ah bisa mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat, seperti stigma negatif dan penolakan.
- Sanksi pidana: Dalam beberapa kasus, pelaku nikah mut’ah bisa dikenai sanksi pidana, terutama jika terbukti melakukan tindak pidana seperti penipuan atau pelecehan seksual.
Pandangan Masyarakat terhadap Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah, pernikahan sementara yang diperbolehkan dalam Islam Syiah, telah menjadi topik yang kontroversial di berbagai kalangan. Perbedaan pendapat tentang hukum dan etika nikah mut’ah telah memicu beragam pandangan di masyarakat. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut mengenai pandangan masyarakat terhadap nikah mut’ah, baik yang mendukung maupun yang menentangnya.
Alasan Dukungan terhadap Nikah Mut’ah
Beberapa kalangan masyarakat mendukung nikah mut’ah dengan berbagai alasan. Mereka berpendapat bahwa nikah mut’ah memiliki beberapa keuntungan, seperti:
- Memenuhi kebutuhan biologis: Bagi individu yang belum siap untuk menikah secara permanen, nikah mut’ah dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka secara halal.
- Kemandirian perempuan: Nikah mut’ah dapat memberikan perempuan kemandirian finansial dan sosial, terutama bagi mereka yang ingin hidup mandiri tanpa harus terikat dengan pernikahan permanen.
- Kemudahan dalam proses: Nikah mut’ah dianggap lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan pernikahan permanen, karena tidak memerlukan proses yang rumit dan birokrasi yang panjang.
Alasan Penentangan terhadap Nikah Mut’ah, Sejarah nikah mut ah
Di sisi lain, terdapat juga kalangan masyarakat yang menentang nikah mut’ah dengan berbagai alasan. Mereka berpendapat bahwa nikah mut’ah:
- Menimbulkan eksploitasi: Nikah mut’ah dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap perempuan, terutama jika perempuan tidak memiliki kekuatan tawar menawar yang sama dengan laki-laki.
- Merusak institusi pernikahan: Nikah mut’ah dianggap dapat merusak institusi pernikahan permanen, karena dapat menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian dalam hubungan suami istri.
- Bertentangan dengan nilai-nilai moral: Nikah mut’ah dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika yang berlaku di masyarakat, terutama karena dianggap sebagai bentuk perselingkuhan yang dilegalkan.
Contoh Kasus Persepsi Masyarakat terhadap Nikah Mut’ah
Persepsi masyarakat terhadap nikah mut’ah dapat terlihat dari berbagai contoh kasus. Misalnya, kasus pernikahan sementara yang dilakukan oleh seorang perempuan muda dengan seorang pria yang sudah menikah. Dalam kasus ini, perempuan tersebut mungkin terdorong oleh kebutuhan finansial atau karena ingin merasakan pengalaman pernikahan, sementara pria tersebut mungkin mencari kepuasan seksual tanpa harus bertanggung jawab secara permanen.
Kasus ini dapat menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian orang mungkin menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran norma dan etika, sementara sebagian lainnya mungkin berpendapat bahwa hal tersebut adalah hak pribadi yang tidak perlu diintervensi.
Alternatif Pernikahan Selain Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah bentuk pernikahan sementara yang pernah dipraktikkan di masa lalu. Namun, saat ini, pernikahan mut’ah telah diharamkan oleh sebagian besar ulama dan dianggap tidak sah menurut hukum Islam. Ada beberapa alternatif pernikahan yang sah dan sesuai dengan ajaran Islam yang dapat dipilih, memenuhi kebutuhan spiritual dan sosial.
Pernikahan Permanen
Pernikahan permanen atau pernikahan seumur hidup adalah bentuk pernikahan yang paling umum dan diakui dalam Islam. Pernikahan ini bersifat permanen dan sah selama kedua pasangan hidup dan tidak ada perjanjian untuk mengakhirinya.
- Pernikahan permanen dilakukan dengan akad nikah yang sah, disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki yang adil.
- Pasangan yang menikah secara permanen memiliki hak dan kewajiban yang sama, seperti hak waris, hak asuh anak, dan kewajiban untuk saling mencintai, menghormati, dan melindungi.
Contoh Kasus Pernikahan Permanen
Misalnya, seorang pria dan wanita yang ingin menikah secara sah dan permanen, mereka dapat melakukan akad nikah di hadapan penghulu dan dua orang saksi. Setelah akad nikah, mereka resmi menjadi suami istri dan memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Syarat dan Prosedur Pernikahan Permanen
Berikut adalah syarat dan prosedur pernikahan permanen yang sah menurut hukum Islam:
- Syarat bagi Calon Suami:
- Islam
- Berakal sehat
- Merdeka
- Mencapai usia dewasa
- Syarat bagi Calon Istri:
- Islam
- Berakal sehat
- Merdeka
- Mencapai usia dewasa
- Prosedur Pernikahan:
- Lamaran: Proses lamaran diawali dengan komunikasi antara kedua keluarga untuk membicarakan pernikahan.
- Persetujuan: Calon suami dan istri harus memberikan persetujuan mereka untuk menikah.
- Akad Nikah: Akad nikah dilakukan oleh penghulu dan disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki yang adil. Dalam akad nikah, calon suami dan istri mengucapkan ijab qabul (perjanjian pernikahan) dengan mahar yang disepakati.
- Resepsi: Setelah akad nikah, biasanya diadakan resepsi pernikahan sebagai bentuk syukur dan pengumuman kepada masyarakat.
Pemungkas
Perdebatan mengenai nikah mut’ah terus berlanjut hingga saat ini. Meskipun diharamkan di sebagian besar negara Islam, termasuk Indonesia, penting untuk memahami sejarah dan konteksnya. Memahami berbagai perspektif dan argumentasi dapat membantu kita menganalisis praktik ini secara lebih komprehensif dan membangun sikap yang lebih bijaksana terhadap pernikahan dalam Islam.